Kalau Manusia Pertama Cuma Satu, Kok Sekarang Kita Bisa Beragam?

Kalau Manusia Pertama Cuma Satu, Kok Sekarang Kita Bisa Beragam?

Refleksi ilmiah tentang mutasi genetik, evolusi, dan ironi keberagaman manusia

Kalau Manusia Pertama Cuma Satu, Kok Sekarang Kita Bisa Beragam?

Lo pernah mikir nggak, kalau katanya manusia pertama cuma satu, Adam misalnya, kok sekarang kita bisa punya warna kulit beda-beda, bentuk mata macem-macem, tinggi badan variatif, bahkan kepribadian yang kadang kayak dari planet lain?

Padahal sumbernya cuma satu, tapi hasilnya segini kompleks. Gila nggak sih, gimana cara alam “nge-mix” DNA kita sampai jadi sekreatif itu?

Nah, di balik pertanyaan sederhana itu, ternyata ada penjelasan ilmiah, biologis, bahkan filosofis yang bisa bikin lo ngerasa kecil tapi kagum banget sama cara kerja alam semesta. Yuk, kita bongkar pelan-pelan.

Awalnya Semua Sama

Secara teori biologi evolusi, semua manusia modern (Homo sapiens) berasal dari satu populasi kecil di Afrika sekitar 200 ribu tahun lalu. Dari situlah, sekelompok manusia mulai migrasi ke berbagai belahan dunia, ada yang jalan ke Asia, ada yang menyeberang ke Eropa, bahkan sampai ke Australia.

Nah, di perjalanan panjang itulah tubuh manusia mulai beradaptasi. Misalnya, yang tinggal di daerah panas dan banyak matahari bakal punya pigmen kulit lebih gelap buat melindungi diri dari sinar UV. Sedangkan yang hidup di wilayah dingin dan kurang cahaya bakal punya kulit lebih terang, biar bisa nyerap vitamin D lebih efisien.

Jadi, warna kulit yang selama ini sering dijadiin pembeda sosial, sebenarnya cuma hasil adaptasi biologis. Alam cuma ngasih “filter” biar kita bisa survive di tempat masing-masing.

Mutasi : Kesalahan yang Justru Menyelamatkan

Nah, sekarang kita bahas soal mutasi genetik, kata yang sering kedengeran kayak sesuatu yang buruk. Padahal tanpa mutasi, mungkin manusia udah punah sejak lama.

Mutasi itu sederhananya “typo” di DNA. Kadang muncul karena radiasi, virus, atau kesalahan replikasi sel. Tapi dari “typo” itu lahirlah variasi, dan variasi adalah bahan bakar utama evolusi. Contohnya, ada mutasi yang bikin manusia bisa mencerna susu setelah dewasa, padahal dulu kemampuan itu cuma ada waktu bayi. Mutasi ini muncul ribuan tahun lalu di daerah yang bergantung sama susu sapi, dan jadi keunggulan adaptif buat mereka.

Lucunya, sesuatu yang awalnya kayak “cacat” malah bisa jadi penyelamat spesies. Keliatan kayak error, tapi justru dari error itulah manusia berevolusi.

Evolusi Nggak Pernah Tentang Sempurna

Kalau lo perhatiin, evolusi itu bukan soal siapa yang paling kuat, tapi siapa yang paling mampu beradaptasi. Nggak ada manusia yang sempurna, karena alam nggak pernah ngincer kesempurnaan, dia ngincer keseimbangan.

Jadi ketika ada orang yang bangga karena “ras” atau “suku”nya dianggap unggul, mereka sebenarnya nggak ngerti cara kerja alam. Nggak ada “ras terbaik”. Yang ada cuma perbedaan fungsi, kayak puzzle, tiap potongan punya bentuk anehnya sendiri, tapi justru itu yang bikin gambar jadi utuh.

Perbedaan : Kesalahan atau Keindahan?

Kita sering takut sama perbedaan. Takut dianggap aneh, takut dikucilkan, takut nggak diterima. Padahal dari sisi biologis, perbedaan itu tanda kehidupan.

Kalau semua gen manusia sama persis, satu virus aja bisa nge-wipe out seluruh umat manusia dalam sekali serang. Tapi karena DNA kita beda-beda, sebagian bisa bertahan.
Jadi secara ilmiah, keberagaman adalah mekanisme pertahanan hidup.

Filosofinya, mungkin perbedaan bukan kesalahan sistem, tapi cara alam menunjukkan kreativitasnya. Kayak pelukis yang nggak mau pakai satu warna doang. Alam juga gitu, dia bikin kita beda supaya dunia nggak monoton.

Kita Nggak Cuma Produk DNA

Tapi tunggu dulu, nggak semua perbedaan datang dari gen. Ada satu faktor yang lebih “liar”, yaitu lingkungan dan pengalaman hidup. Dua orang kembar identik aja bisa beda banget sifatnya, padahal DNA-nya 99,99% sama.

Artinya, manusia itu hasil kombinasi antara gen dan perjalanan hidup. Gen nentuin fondasi, tapi lingkungan yang ngebentuk “bangunan akhirnya”. Dan mungkin di situlah letak kerennya manusia, kita nggak dikendalikan sepenuhnya oleh gen, kita punya kesadaran buat milih jalan sendiri.

Dari DNA ke Identitas

Sekarang bayangin deh, dari satu gen yang sama, lahir manusia dengan segala kerumitannya, yang satu jadi penulis, yang lain jadi ilmuwan,  ada yang suka kopi hitam, ada yang nggak bisa tidur kalau nggak nonton drakor. Semua itu hasil kombinasi miliaran faktor, dari DNA sampai trauma masa kecil.

Dan di titik ini, kita bisa mikir gini, mungkin tujuan alam bukan cuma bikin manusia bisa bertahan, tapi juga bisa memahami dirinya sendiri. Evolusi nggak berhenti di tubuh, tapi lanjut ke kesadaran.

Jadi, Kenapa Kita Beragam?

Jawabannya sederhana tapi dalem banget, yaitu karena alam butuh variasi untuk bertahan, dan manusia butuh perbedaan untuk belajar. Dari yang berbeda, kita belajar empati. Dari yang aneh, kita belajar menerima. Dari yang nggak sama, kita belajar jadi manusia.

Jadi kalau lo pernah ngerasa nggak cocok sama dunia, ingat, mungkin lo cuma salah dimensi, bukan salah desain.

Kita semua lahir dari satu sumber yang sama, tapi dibentuk oleh perjalanan yang beda. Dan justru karena itu, keberagaman bukan ancaman, tapi bukti betapa cerdasnya alam menciptakan harmoni dari kekacauan.

Kalau manusia pertama cuma satu, lalu jadi miliaran dengan segala warna, bentuk, dan isi kepala yang berbeda, mungkin itu cara alam bilang :

“Kesempurnaan itu bukan keseragaman, tapi keberagaman yang hidup berdampingan.”


Inside Bila | Designed by Oddthemes | Distributed by Gooyaabi